"Sebelumnya Kemenkes RI mengimbau untuk menghentikan peredaran obat sirop terkait cemaran etilen glikol dan dietilen glikol di dalamnya. Kedua kandungan itu diduga menjadi pemicu kenaikan kasus gagal ginjal akut misterius pada anak. Setelah melalui uji sampling, BPOM RI merilis sekitar 133 obat yang dinyatakan aman dikonsumsi."

 

Ilustrasi obat sirup

BPOM rilis daftar obat yang aman dari etilen glikol dan dietilen gliko selama dikonsumsi sesuai anjuran

 

 

Beberapa waktu lalu media sosial diramaikan dengan beredarnya 102 obat sirup yang dijual bebas dilarang beredar oleh BPOM karena diduga mengandung etilen glikol dan dietilen glikol. Kedua zat ini diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut misterius pada anak.

 

Mengapa etilen glikol dan dietilen glikol bisa berada di dalam obat?

 

Juru bicara Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmidzi, sebagaimana dilansir dari Kompas menyebutkan, daftar 102 obat sirop yang beredar di media sosial belum terbukti berbahaya, melainkan sedang melalui uji sampling oleh BPOM

Uji sampling tersebut bertujuan untuk memastikan apakah obat-obat yang disebutkan tersebut mengandung etilen glikol dan/atau dietilen glikol atau tidak, plus apakah kandungannya melebihi batas aman atau tidak.

“Statusnya saat ini masih imbauan untuk tidak digunakan,” ujarnya pada keterangan pers Sabtu (22/10).

Melansir CDC, etilen glikol dan dietilen glikol adalah salah satu bentuk senyawa kimia yang tidak berbau dan tidak berwarna serta kerap digunakan dalam berbagai produk, seperti pulpen, pelarut, cat, kosmetik, hingga cairan pembersih.

Normalnya, etilen glikol dan dietilen glikol tidak digunakan sebagai bahan baku obat. Pasalnya, bahan ini bisa dipecah menjadi racun di dalam tubuh dan berdampak pada sistem saraf pusat, jantung, kemudian ginjal. 

Mengonsumsinya dalam jumlah banyak bahkan dapat menyebabkan kematian. Hal ini pulalah yang menjadi dasar obat sirop, termasuk paracetamol sirop diduga jadi penyebab gagal ginjal akut misterius pada anak.

Meski demikian, etilen glikol mungkin saja muncul akibat reaksi kimia ketika proses produksi akibat penggunaan pelarut sorbitol, gliserol, propilen glikol, dan polietilen glikol. Propilen glikol dan polietilen glikol sendiri pada dasarnya adalah pelarut yang disetujui oleh FDA untuk pembuatan obat karena level toksisitasnya yang rendah.

Kontaminasi etilen glikol atau dietilen glikol ini masih diizinkan apabila jumlahnya tidak melebih ambang batas aman. Sesuai aturan standar nasional dan Farmakope, batas aman kontaminasi EG dan DEG adalah 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari.

 

Daftar obat sirup yang aman digunakan

 

Setelah melakukan sampling, pada 23 Oktober lalu, BPOM mengeluarkan daftar obat yang aman digunakan selama mengikuti aturan pakai atau anjuran dokter.

Dari 102 daftar obat yang kala itu beredar di media sosial, berikut adalah obat yang aman digunakan untuk anak sesuai anjuran pakai:

  1. Ambroxol HCl (Kimia Farma)
  2. Anakonidin OBH (Konimex) 
  3. Cetrizin (Sampharindo Perdana)
  4. Paracetamol (Mersifarma TM)
  5. Paracetamol (Kimia Farma)
  6. Paracetamol sirup (Afi Farma)
  7. Paracetamol drops (Afi Farma)

Daftar obat yang tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol, aman digunakan sesuai aturan pakai:

  1. Alerfed Syrup (Guardian Pharmatama)
  2. Amoxan (Sanbe farma)
  3. Amoxicilin (Mersifarma TM)
  4. Azithromycin sirop (Natura/Quantum Labs)
  5. Cazetin (Ifars Pharmaceutical Laboratories)
  6. Cefacef Syrup (Caprifarmindo Labs)
  7. Cefspan syrup (Kalbe Farma)
  8. Cetirizin (Novapharin)
  9. Devosix drop 15 ml (Ifars Pharmaceutical Laboratories)
  10. Domperidon Sirup (Afi Farma)
  11. Etamox syrup (Errita Pharma)
  12. Interzinc (Interbat)
  13. Nytex (Pharos)
  14. Omemox (Mutiara Mukti Farma)
  15. Rhinos Neo drop (Dexa Medica)
  16. Vestein (Erdostein) (Kalbe)
  17. Yusimox (Ifars Pharmaceutical Laboratories)
  18. Zinc Syrup (Afi Farma)
  19. Zincpro syrup (Hexpharm Jaya)
  20. Zibramax (Guardian Pharmatama)
  21. Renalyte (Pratapa Nirmala)
  22. Amoksisilin (-)
  23. Eritromisin (-)

Daftar obat yang mengandung EG melebihi batas aman:

  1. Unibebi Cough Sirop (Universal Pharmaceutical Industries)
  2. Unibebi Demam Sirop (Universal Pharmaceutical Industries)
  3. Unibebi Demam Drops (Universal Pharmaceutical Industries)

Sementara itu, 69 obat lainnya saat ini masih dalam uji sampling oleh BPOM untuk membuktikan keamanannya.

Sebelumnya, sempat pula beredar informasi bahwa Termorex sirup buatan PT Konimex dinyatakan ke dalam daftar obat yang tidak aman dikonsumsi. Meski demikian, Penny Lukito, kepala Badan POM RI, menyatakan Termorex Sirup telah dikeluarkan dari daftar obat sirop yang tercemar.

Hal ini dilakukan lantaran BPOM telah menemukan fakta, Termorex yang disampling dari batch lain, lokasi peredaran berbeda, dan waktu produksi berbeda dari sampel sebelumnya dinyatakan aman dari kontaminasi EG dan DEG.

Semua obat yang telah dinyatakan aman oleh BPOM umumnya dapat digunakan dan tidak mengakibatkan efek samping khusus selama diminum sesuai dengan anjuran dokter atau aturan pakai yang tertera di label.

Apabila Anda mengalami kebingungan mengenai obat yang boleh dan tidak, atau mencari alternatif obat sirop untuk anak, konsultasikan dengan dokter untuk lebih amannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“Berdasarkan surat keputusan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) terkait gangguan ginjal akut pada anak, penanganan penyakit tersebut akan didasari pada beberapa hal. Dimulai dari diagnosis klinis, yang diawali dengan mengamati gejala dan tanda klinis.”

 

 

Kenali Penanganan Efektif  Gagal Ginjal Akut pada Anak

 

Kini kasus gagal ginjal akut  yang menyerang anak usia 6 bulan-18 tahun, khususnya balita, menjadi sorotan baru. Sebab, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan bahwa terdapat 192 kasus gagal ginjal akut progresif atipikal, pada anak hingga Selasa (18/10/2022). 

Karena itu, penting untuk meningkatkan kewaspadaan dan memahami penanganan efektif penyakit ini pada anak. Yuk, simak informasinya di sini! 

 

Penanganan Efektif Gagal Ginjal Akut pada Anak 

Kemenkes RI melalui Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan menerbitkan surat keputusan Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Surat ini juga bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dan dijadikan acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan, terkait penanganan medis penyakit tersebut pada anak.

Dimulai dari diagnosis klinis, yang diawali dengan mengamati gejala dan tanda klinis yang dialami pasien. Contohnya seperti penurunan jumlah BAK (oliguria) atau tidak ada sama sekali BAK (anuria). Pada kondisi ini, anak sudah memasuki fase lanjut dan harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit.

Ketika anak menerima perawatan di rumah sakit, Kemenkes merekomendasikan pemeriksaan berlanjut pada fungsi ginjal (turun, kreatinin). Namun, jika fungsi ginjal meningkat, pemeriksaan lanjutan akan dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Selain itu, pemeriksaan lanjutan juga berfungsi sebagai evaluasi kemungkinan akan etiologi dan komplikasi. 

Jika hasil pemeriksaan menunjukkan positif gagal ginjal akut, pasien akan dirawat pada ruangan intensif seperti High Care Unit (HCU) atau Pediatric Intensive Care Unit (PICU) sesuai indikasi.

Selama proses perawatan, fasilitas kesehatan akan memberikan obat dan terus mengawasi kondisi pasien melalui beberapa aspek. Mulai dari volume balance cairan dan diuresis selama perawatan, kesadaran, napas kusmaull, tekanan darah, serta pemeriksaan kreatinin serial setiap 12 jam.

 

Orang Tua Harus Waspada

Seiring dengan peningkatan kasus gagal ginjal akut, Kemenkes meminta orang tua untuk tidak panik, tapi selalu waspada. Khususnya jika anak mengalami gejala yang mengarah pada penyakit ini, yaitu: 

  • Diare.
  • Muntah.
  • Mual.
  • Batuk.
  • Pilek.
  • Anak kerap mengantuk.
  • Demam selama 3-5 hari. 

Sebagai tambahan, orang tua juga perlu waspada akan perubahan warna urine anak (pekat atau kecokelatan). Bila terjadi perubahan warna dan volume urine, bahkan anak tidak buang air kecil selama 6-8 jam (di siang hari), anak perlu segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat.

Selain itu, orang tua juga perlu memastikan jika anak sakit, cairan tubuhnya terpenuhi dengan baik melalui minum air yang cukup, sebelum mendapatkan diagnosis atau perawatan yang sesuai.  

 

Tidak Terkait dengan COVID-19

Melansir dari laman resmi Sehat Negeriku, Kemenkes RI mengungkapkan bahwa penyakit gagal ginjal akut pada anak, tidak memiliki kaitan dengan vaksinasi atau infeksi COVID-19. 

“Sampai saat ini kejadian gagal ginjal akut tidak ada kaitannya dengan vaksin Covid 19 maupun infeksi COVID-19” jelas jubir Kemenkes RI, dr. M Syahril, pada Selasa (18/10).

Ia menambahkan hingga saat ini penelusuran kasus gagal ginjal akut pada anak terus dilakukan pemerintah. Hal ini dilakukan dengan menggandeng para ahli, seperti ahli epidemiologi, Badan POM, IDAI, dan Puslabfor. 

Sementara itu, penyelidikan epidemiologi dilakukan melalui pemeriksaan dan pengawasan, demi mengetahui infeksi yang menjadi penyebab atypical progressive acute kidney injury pada anak tersebut. Pemeriksaan epidemiologi ini mencakup beberapa aspek, seperti swab tenggorokan, swab anus, pemeriksaan darah dan kemungkinan intoksikasi.

Itulah penjelasan mengenai penanganan efektif gagal ginjal akut pada anak. Jika ibu masih memiliki pertanyaan seputar penyakit ini, atau mencurigai anak mengalaminya, segeralah hubungi dokter. 

 

 

 

 

 

 

 

Osteoporosis

 

 

 

 

Pengertian Osteoporosis

Osteoporosis adalah penyakit ketika kepadatan tulang secara perlahan berkurang, sehingga tulang menjadi lemah dan rentan akan fraktur (patah tulang). Tulang adalah jaringan hidup yang terus-menerus dipecah dan diganti. Osteoporosis terjadi ketika pembentukan tulang baru tidak mengikuti hilangnya tulang yang lama. Penyakit tulang ini paling sering menyebabkan fraktur di panggul, tulang belakang, dan pergelangan tangan.

Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, kondisi ini bisa diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

  • Osteoporosis primer, yang terjadi pada wanita pascamenopause dan wanita atau pria berusia lanjut. Jenis ini terjadi akibat penurunan hormon estrogen pada usia lanjut atau setelah menopause yang memicu pengeroposan tulang.
  • Osteoporosis sekunder, disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, akibat tindakan operasi, atau pemberian obat.

 

Penyebab Osteoporosis

Tulang mengalami proses pembaruan secara konstan. Tulang baru dibuat dan tulang lama dihancurkan. Ketika masih muda, tubuh bisa membuat tulang baru lebih cepat daripada memecah tulang tua dan massa tulang meningkat. Setelah awal usia 20-an, proses tersebut melambat, dan kebanyakan orang mencapai puncak massa tulang pada usia 30 tahun. Seiring bertambahnya usia, massa tulang hilang lebih cepat daripada pembentukannya.

Risiko osteoporosis sebagian bergantung pada seberapa banyak massa tulang yang dicapai di masa muda. Semakin tinggi massa tulang puncak, semakin banyak tulang yang ‘disimpan’, dan semakin kecil pula kemungkinan terkena kondisi kesehatan ini.

 

Faktor Risiko Osteoporosis

Faktor risiko osteoporosis meliputi banyak kondisi, di antaranya bisa dimodifikasi dan sebagian lainnya tidak dapat dimodifikasi.

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi:

  • Hormon seks. Kadar estrogen yang rendah berkaitan dengan siklus menstruasi yang tidak teratur, maupun menopause dapat menyebabkan osteoporosis pada perempuan. Sedangkan pada laki-laki, kadar testosteron yang rendah dapat menyebabkan penyakit tulang ini. Hal ini dapat dimodifikasi dengan perubahan pola makan dan juga terapi hormonal.
  • Anoreksia nervosa. Pada anoreksia nervosa, tubuh tidak mendapatkan nutrisi yang seharusnya, sehingga kekurangan komponen yang dibutuhkan untuk menjaga kepadatan tulang.
  • Konsumsi kalsium dan vitamin D yang kurang dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh.
  • Penggunaan obat-obatan tertentu.
  • Kurangnya aktivitas fisik.
  • Merokok.
  • Konsumsi alkohol

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:

  • Jenis kelamin. Perempuan lebih rentan mengalami osteoporosis daripada pria.
  • Usia. Sebagai penyakit degeneratif, osteoporosis menyerang individu dengan usia lanjut sekitar 40 tahun ke atas.
  • Ukuran tubuh yang kecil dan kurus pada perempuan.
  • Perempuan dengan etnis Kaukasia dan Asia memiliki risiko paling tinggi dibanding perempuan Hispanik dan kulit hitam.
  • Riwayat keluarga dengan osteoporosis.

 

Gejala Osteoporosis

Osteoporosis dikenal sebagai penyakit sunyi atau silent disease, sebab pengidap tidak merasakan gejala apa pun pada tahap awal penyakit. Namun, begitu tulang melemah karena osteoporosis, berikut gejala yang bisa dialami:

  • Sakit punggung, yang disebabkan oleh tulang belakang yang patah atau kolaps.
  • Menurunnya tinggi badan dari waktu ke waktu.
  • Postur bungkuk.
  • Tulang mudah patah.

 

Diagnosis Osteoporosis

Diagnosis osteoporosis biasanya dilakukan oleh dokter dengan menanyakan riwayat medis lengkap dan melakukan pemeriksaan fisik. Bisa pula ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti rontgen tulang, densitometri tulang, dan tes laboratorium khusus.

Jika dokter mendiagnosis massa tulang yang rendah, dokter mungkin melakukan tes tambahan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang dapat menyebabkan keropos tulang. Contohnya osteomalasia (penyakit tulang metabolik yang ditandai oleh mineralisasi tulang yang abnormal), atau hiperparatiroidisme (aktivitas berlebihan kelenjar paratiroid).

Densitometri tulang biasanya dilakukan pada wanita yang menginjak usia menopause. Beberapa jenis densitometri tulang digunakan untuk mendeteksi keropos tulang di berbagai area tubuh.

Dual-energi x-ray absorptiometry (DEXA) adalah salah satu metode yang paling akurat, tetapi teknik lain juga dapat mengidentifikasi osteoporosis. Misalnya  photon absorptiometry tunggal (SPA), computed tomography kuantitatif (QCT), absorptiometri radiografi, dan USG. Dokter dapat menentukan metode mana yang paling cocok untuk pasien.

 

Pengobatan Osteoporosis

Pengobatan osteoporosis meliputi mengobati dan mencegah patah tulang, serta menggunakan obat-obatan untuk memperkuat tulang. Berikut beberapa obat-obatan yang bisa diberikan untuk mengatasi osteoporosis:

  • Bifosfonat. Obat ini paling sering diresepkan untuk pria dan wanita yang memiliki peningkatan risiko patah tulang.
  • Denosumab. Dibandingkan bifosfonat, denosumab menghasilkan kepadatan tulang yang lebih baik dan mengurangi kemungkinan semua jenis patah tulang.
  • Terapi hormon. Terapi estrogen yang dimulai segera setelah menopause bisa membantu menjaga kepadatan tulang.
  • Obat pembentuk tulang. Pengidap osteoporosis parah atau bila perawatan umum tidak bekerja dengan baik, maka dokter mungkin akan memberi obat pembentuk tulang.

 

Komplikasi Osteoporosis

Patah tulang, terutama di tulang belakang atau pinggul, adalah komplikasi paling serius dari osteoporosis. Patah tulang pinggul sering terjadi akibat jatuh dan bisa mengakibatkan kecacatan dan bahkan meningkatkan risiko kematian dalam tahun pertama setelah cedera.

Dalam beberapa kasus, patah tulang belakang bisa terjadi bahkan jika tidak jatuh. Tulang-tulang yang membentuk tulang belakang (vertebra) bisa melemah hingga kolaps, yang dapat mengakibatkan nyeri punggung, kehilangan tinggi badan, dan postur membungkuk ke depan.

 

Pencegahan Osteoporosis

Pencegahan osteoporosis bisa dilakukan dengan berbagai cara:

  • Diet

Diet sehat dengan asupan kalsium dan vitamin D yang cukup membantu membuat tulang pengidap kuat. Banyak orang mendapatkan kurang dari setengah kalsium yang mereka butuhkan. Sumber kalsium yang baik adalah susu rendah lemak, yoghurt, keju, jus jeruk, sereal, dan roti. Vitamin D juga dibutuhkan untuk tulang yang kuat. Beberapa pengidap mungkin perlu mengonsumsi pil vitamin D.

  • Olahraga

Jenis-jenis olahraga yang bisa mencegah osteoporosis, yaitu:

  • Berjalan.
  • Mendaki.
  • Joging.
  • Naik tangga.
  • Angkat beban.
  • Tenis.
  • Dansa.
  • Gaya Hidup

Untuk mencegah osteoporosis, gaya hidup yang dianjurkan yaitu berhenti merokok dan kurangi konsumsi alkohol.